IMPLEMENTASI KEBIJAKAN INKLUSIF

Pendidikan inklusif adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah, mulai dari jenjang TK, SD, SLTP sampai dengan jenjang SMU. Sebagai solusi terhadap kendala sulitnya anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pelayanan pendidikan secara utuh di desa-desa dan daerah terpencil (http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/html/plb/plb-kebijakan-prioritas.htm. Sistem inklusif memberikan kemudahan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari sekolah konvensional, dimana anak dilayani di sekolah umum yang terdekat dengan anak, sehingga anak dapat belajar bersama dengan anak-anak pada umumnya, dalam hal-hal tertentu dengan dibantu oleh teman-temannya dan guru untuk mencapai kebutuhannya.

Tentunya keberadaan program inklusif ini tidak saja karena ditemukannya data bahwa banyak anak-anak berkebutuhan khusus di daerah-daerah terpencil dan jauh dari sekolah konvensional yang belum memperoleh pendidikan, namun lebih menekankan pada hak warga Indonesia dalam hal ini adalah anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan perlakuan yang sama dalam memperoleh layanan pendidikan di Indonesia. Mereka berhak mengembangkan potensinya untuk hidup mereka di masa depan. Hal ini seperti diungkap dalam pernyataan Salamanca tahun 1994, yang merupakan perluasan tujuan Educational for All dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah-sekolah regular dapat melayani semua anak, terutama mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Di Indonesia, melalui SK Mendiknas No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah regular yang melayani penuntasan Wajib Belajar bagi anak berkebutuhan khusus.

A.     Landasan Hukum Kebijakan Inklusif

Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar sembilan tahun disemangati oleh seruan International Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. Sebagaimana kesepakatan global hasil World Educational Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015. Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU SPN No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (Depdiknas,2004).

Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus telah berkembang sejak lama dari sistem segresi (SLB) menjadi sistem integrasi (terpadu) dimana anak berkebutuhan khusus diterima di sekolah reguler dengan penyesuaian kurikulum yang digunakan di sekolah tersebut. Dalam rangka mensukseskan program Wajib Belajar Pendidikan dasar sembilan tahun dan perwujudan hak asasi manusia, pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus perlu lebih ditingkatkan. Kemudian muncul sistem Inklusif. Dimana perbedaan mendasar dari sistem integrasi dengan inklusif adalah, inklusif berorientasi pada perubahan sistem untuk mengakomodasi anak dalam segala keadaan.

Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak diselenggarakan secara segresi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Sementara itu, lokasi SLB dan SDLB pada umumnya berada di Ibu Kota Kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebar tak hanya di Ibu Kota Kabupaten, namun hampir diseluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya sebagian anak berkebutuhan khusus tersebut tidak bersekolah karena lokasi SLB dan SDLB yang jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan sekolah reguler terdekat belum memiliki kesadaran untuk menerima anak dengan berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian lain yang selama ini dapat diterima di sekolah reguler tersebut, tetapi karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah.

Adanya keputusan pemerintah dalam menetapkan program pendidikan inklusif didasari oleh adanya masalah tersebut di atas dalam menangani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Seperti diungkapkan oleh Supandi dan Ahmad (1988), bahwa pada dasarnya membuat keputusan itu adalah menetapkan pilihan atau alternatif secara nalar dan menghindari diri dari pilihan yang tidak rasional tanpa alasan atau hanya berdasarkan informasi yang tidak memadai serta tidak relevan. Pengambilan keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi (Salusu, 1996). Terobosan program inklusif memberikan kesempatan dan peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah reguler (SD, SMP dan SMA/SMK) terdekat. Program inklusif ini didasari oleh pemikiran yang mendalam dan melalui tahapan-tahapan berpikir yang terstruktur. Diungkap oleh Bridges et al, dan Green dan Tull (Salusu, 2003:81), bahwa dalam pengambilan keputusan, ada fase-fase dalam penyelesaian masalah, baik secara eksplisit maupun secara implisit yang harus tampak dalam membuat keputusan, yaitu:

1.      Menetapkan masalah yang harus diselesaikan.

2.      Memilih masalah mendesak yang harus diselesaikan.

3.      Menyelesaikan masalah yang telah diseleksi.

4.      Implementasikan solusi.

5.      Modifikasi penyelesaian awal berdasar observasi atas hasil yang diperoleh.

6.      Menyusun Kebijakan.

Hal ini menyakinkan, bahwa keputusan yang diambil pemerintah dalam program inklusif akan memberikan solusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus, terutama bagi mereka yang berada di daerah dan jauh dari SLB. Sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik makna, yaitu: (1) Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, (2) Pendidikan inklusif berarti memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar, (3) Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan (4) Pendidikan inklusif diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, ekslusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

Program inklusif merupakan alternatif terbaik yang memiliki tingkat kegunaan yang tinggi untuk kondisi Indonesia. Sehingga tujuan pemerintah dalam pemeraaan pendidikan dapat dicapai di seluruh pelosok Indonesia tidak terkecuali. Alternatif atau pilihan terbaik diukur dengan tingkat kegunaan yang diharapkan tertinggi berdasarkan pandangan, sikap, kepercayaan, dan intuisi pengambil keputusan. Kuntoro Mangkusubroto (1987:112) menuliskan bahwa: “Utiliti adalah pencerminan preferensi kita, maka untuk melakukan pilihan kita mendasarkan pada ekspektasi utiliti dari alternatif-alternatif yang ada, dan memilih berdasarkan ekspektasi utiliti yang tertinggi”.

Pendidikan Inklusif dimulai dari pemikiran bahwa hak mendapat pendidikan merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar dan merupakan fondasi untuk hidup bermasyarakat. Pendidikan Inklusif merupakan sebuah solusi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia. Inklusif menurut Erwin (1993) dalam Budi Hermawan (2003:4) adalah:

Sebuah proses yang secara sistematik mengantarkan anak-anak berkebutuhan khusus (anak luar biasa di dalamnya tanpa menghiraukan keadaan atau beratnya kelainan mereka) dan beberapa kelompok anak tertentu pada usia yang sama, ke dalam lingkungan yang alami (natural enviroment) di mana anak-anak pada umumnya bermain dan belajar. Dengan demikian pendidikan inklusif merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas program pendidikan bagi semua peserta didik, dengan bentuk layanan yang tepat (didasarkan pada kebutuhan, keunikan, dan karakteristik individu) untuk menjamin keberhasilan mereka.

Pelaksanaan pendidikan inklusif akan mampu mendorong terjadinya perubahan sikap lebih positif dari peserta didik terhadap adanya perbedaan melalui pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama dan pada akhirnya akan mampu membentuk sebuah kelompok masyarakat yang tidak diskriminatif dan akomodatif kepada semua orang. Seperti diungkap oleh Budi Hermawan (2003:5) bahwa, pendidikan inklusif merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas program pendidikan bagi semua peserta didik, dengan bentuk layanan yang tepat (didasarkan pada kebutuhan, keunikan, dan karakteristik individu untuk menjamin keberhasilan mereka.

Sistem ini sangat mendukung program pemerintah Wajar 9 Tahun, dengan dibukanya kesempatan seluas-luasnya pada semua anak usia 7-15 tahun untuk mengenyam pendidikan. Kesempatan ini juga berlaku bagi anak berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus dari berbagai daerah dan pelosok tidak memiliki kendala untuk tidak bersekolah. Sebab mereka dapat melakukan sistem inklusif di sekolah-sekolah terdekat. Sehingga tidak ada alasan anak Indonesia tidak bersekolah.

Pendidikan bisa berlangsung dimanapun, oleh karena itu pendidikan dapat berlangsung sekalipun Undang-undang yang berlaku belum ada. Namun demikian, adanya peraturan perundang-undangan yang didasari untuk kepentingan dan kebaikan semua masyarakat sangat diperlukan untuk menumbuh kembangkan kreativitas dan aktivitas warga negara. Keberadaan anak berkebutuhan khusus di dalam memperoleh layanan pendidikan dilandasi oleh beberapa peraturan perundang-undangan.

Landasan hukum kebijakan pendidikan inklusif pada tingkat nasional adalah:

1.         Undang-undang Dasar 1945, pasal 31

Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayai.

2.         TAP MPR RI Nomor IV Tahun 1999 tentang GBHN

“Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional”. (Bab IV Arah Kebijakan, E. Pendidikan, angka 3)

3.         Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

4.         Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 8: “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial”

5.         Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5.

Ayat 1 : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Ayat 2 : Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 15 :

“Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”.

Penjelasan Pasal 15 :

“…, Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang mempunyai kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”.

Pasal 32 :

Ayat 1 : Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Pasal 2 : Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi.

6.         Peraturan Pemerntah No. 72  Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.

7.         Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

Kewenangan Propinsi antara lain :

“Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru” (Pasal 3, angka 10 huruf e).

8.         Deklarasi Bandung (Tanggal 11 Agustus 2004) tentang Pendidikan Inklusif

9.         Keputusan Mendikbud No. 02/0/1986 tentang Pendidikan Terpadu Bagi Anak Cacat

10.     Keputusan Mendikbud No.491/U/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa

Bila diperhatikan dengan seksama, kalimat yang tercantum dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri, maka tidak ada alasan bagi anak Indonesia untuk tidak bersekolah. Bagaimanapun kondisi anak tersebut. Konsekuensi dari pernyataan tersebut di atas bahwa setiap anak sebaiknya dilayani sesuai dengan keadaan masing-masing.

Bagi warga negara yang memiliki kelainan khusus, pemerintah perlu memberikan pelayanan dan pendidikan secara khusus. Oleh karena itu pada saat para pengelola pendidikan membuat suatu kebijakan harus mempertimbangkan bahwa semua anak terutama usia wajib belajr yang berada di lingkungan suatu sekolah mempunyai akses ke sekolah tanpa dipungut bayaran. Pemberian kesempatan bagi setiap anak untuk diterima di sekolah menjadi sebuah kewajiban, di mana pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk menyediakan kesempatan agar hak-hak anak ini terwujud. Perlu memfasilitasi agar setiap anak dapat belajar dengan tidak menjauhkan anak dari keluarganya. Salah satu cara melalui pendidikan inklusif (Euis Karwati, 2003). Melalui pendidikan ini, penuntasan Wajar dapat diakselerasikan dengan berpedoman pada azas pemerataan serta peningkatan kepedulian terhadap penanganan anak yang memerlukan pendidikan.

B.     Implementasi Kebijakan Inklusif

Untuk mengatasi kesenjangan dan diskriminasi bagi anak-anak berkebutuhan khusus maka pada tahun 1999 Pendidikan Inklusif dipersepsikan sebagai model pelayanan pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus yang biasanya terpisah dengan temannya yang normal digabungkan pembelajarannya di sekolah-sekolah biasa. Menurut Herman (2003:1) bahwa:

Sebagian kelompok berpendapat bahwa pendidikan inklusiff tidak semata menggabungkan anak berkebutuhan khusus ke sekolah reguler namun lebih itu yaitu mencoba memberi pelayanan kepada seluruh siswa yang ada di sekolah reguler dengan berorientasi kepada keunikan, karakteristik dan kebutuhan khusus yang ada pada setiap siswa.

Kelompok siswa berkebutuhan khusus, selama mungkin harus mendapat pendidikan di sekolah umum yang mendapat pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Menurut UNESCO (Kusnaini, 2003:6) “Mengirim mereka ke SLB atau Kelas Khusus harus merupakan kekecualian, apabila pendidikan di sekolah umum terbukti tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, baik pendidikan maupun sosial”. Manfaat dari program pendidikan inklusif adalah: (1) Secara praktis pendidikan inklusif dapat mempercepat proses pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar; (2) Pendidikan inklusif adalah pendekatan yang menghargai perbedaan dalam melayani siswa sesuai dengan kebutuhannya; (3) Pendidikan inklusif dapat meningkatkan kualitas pendidikan; (4) Secara ekonomis penyelenggaraan pendidikan inklusif ‘lebih murah’; (5) Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang ramah dan bersahabat dengan lingkungan (Subdis PLB, 2006:35).

Inklusif, telah membuka belenggu dan memberi secercah harapan kehidupan baru bagi pelayanan pendidikan siswa-siswa berkebutuhan khusus. Namun demikian, pelaksanaan inklusif tidak serta merta dapat terwujud dengan baik tanpa didukung factor-faktor lain dalam pengembangannya. Seperti yang dikemukakan Skjorten (2003:50), bahwa pelaksanaan inklusif membutuhkan:

1.    Perubahan hati dan sikap;

2.    Reorientasi yang berkaitan dengan asesmen, metode pengajaran, dan manajemen kelas termasuk penyesuaian lingkungan;

3.    Redefinisi peran guru dan realokasi sumber daya manusia;

4.    Redefinisi peran SLB yang ada, misalnya dapatkah sekolah-sekolah ini secara bertahap mulai berfungsi sebagai pusat sumber yang ekstensif?;

5.    Penyediaan bantuan profesional bagi para guru dalam bentuk pelatihan dalam jabatan dan penataran guru, kepala sekolah dan guru kelas, sehingga mereka juga akan dapat memberikan kontribusi terhadap proses menuju inklusif dan bersikap fleksibel jika diperlukan;

6.    Pembentukan, peningkatan, dan pengembangan kemitraan antara guru dan orang tua, demi saling reorientasi dan melakukan peningkatan serta pertukaran pengalaman, bantuan dan nasihat.

Poin-poin di atas menunjukkan perlunya kerjasama dengan berbagai pihak dalam mewujudkan pendidikan inklusif. Inklusif tidak cukup dengan sosialisasi dan pembuatan kebijakan-kebijakan saja. Hal yang paling mendasar adalah inklusif harus terinternalisasi terlebih dahulu dalam diri individu yang akan mengembangkannya.

Pendidikan inklusif dimulai dari pemikiran bahwa hak mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan merupakan sebuah pondasi untuk hidup bermasyarakat. Melalui pendidikan inklusif ini muncul harapan dan kemungkinan bagi mereka yang tergolong kelompok minoritas dan terabaikan untuk memperoleh kesempatan pendidikan bersama dengan teman-teman sebayanya secara lebih inklusif (tidak terpisahkan). Semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal. Dengan konsep kebijakan ini berarti setiap sekolah harus menerima dan mendidik siswa di lingkungan terdekat (Juang Sunanto, 2003). Pendidikan inklusif merujuk pada kebutuhan belajar semua peserta didik, dengan suatu fokus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan. Implementasi pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya.

Berdasarkan data jumlah anak luar biasa -usia sekolah (6-18 tahun) di Indonesia mencapai sekitar 1,8 juta dengan lokasi tempat tinggal yang tersebar. Pada tahun 2000/2001 anak luar biasa -usia sekolah yang dapat menikmati pelayanan pendidikan sekolah, baru sekitar 48.494 orang (2,5 %) dari seluruh populasi anak luar biasa di Indonesia. Khusus di Jawa Barat, jumlah siswa yang berada di SLB sebanyak 11.123 orang, 1.992 di sekolah inklusif dan 250 orang di 31 program akselerasi (Subdin PLB, 2006:10). Sedangkan pada tahun 2004-2005 jumlah siswa yang bersekolah di SLB di Jawa Barat sebanyak 9.787 siswa, ABK yang bersekolah di sekolah umum (inklusif) sebanyak 1.692 siswa dan sekolah program akselerasi sebanyak 300 siswa. Perkembangan siswa yang bersekolah pada lima tahun terakhir ini mencapai 45 % (Subdin PLB, 2006:47). Hal ini merupakan dampak dari perkembangan SLB yang semula berjumlah 165 sekolah pada tahun 2002 menjadi 261 sekolah pada tahun 2003, juga dampak dari adanya kebijakan pemerintah dalam program inklusif.

Masih banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya mendapat pendidikan, hal ini mungkin disebabkan antara lain: (1) kondisi sosial ekonomi orang tua yang kurang menunjang; (2) jarak antara rumah dan Sekolah Luar Biasa (SLB) cukup jauh; dan (3) Sekolah umum (SD, SMP, SMA/SMK) tidak mau menerima anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak normal (Depdiknas, 2004:2). Untuk itu, pemerintah provinsi Jawa Barat mengupayakan model layanan pendidikan yang memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum.

Implementasi kebijakan inklusif di Jawa Barat dimulai dengan tahap Program Uji Coba dengan tiga model pengembangan. Menurut Tanto Capung (2004:http://www.pendidikan-diy.go.id/e-learning/mod/forum/discuss) yaitu:

1.      Model I, Sekolah reguler yang di dalamnya terdapat anak lamban belajar (Slow) dan anak yang mengalami kesulitan belajar (Learning Difficullti).

2.       Model II, Pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus yang telah belajar di SLB dalam waktu tertentu kemudian dimasukkan ke sekolah reguler dengan guru pembimbing khusus.

3.      Model III, Diawali saat penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah reguler yang secara eksplisit menyebutkan bahwa sekolah tersebut akan menerima anak yang memerlukan kebutuhan khusus.

Keberadaan siswa-siswa berkebutuhan khusus telah dapat dijumpai di sekolah-sekolah regular, baik siswa yang mengalami keterbatasan fisik dan atau mental. Kemudian sekolah tersebut di kenal dengan sekolah inklusif. Sekolah inklusif yang dipersiapkan adalah sekolah regular yang dipilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik kepala sekolah, guru, orang tua, peserta didik, tenaga administrasi dan lingkungan sekolah/masyarakat (Subdis PLB, 2006:35). Langkah-langkah dalam mempersiapkan model inklusif pada sekolah-sekolah regular adalah sebagai berikut:

1.      Pemetaan sekolah: SD, SMP, SMA, SMK, satu sekolah untuk tiap Kabupaten.

2.      Sosialisasi melalui Rakor, Semiloka, Pelatihan.

3.      Menginformasikan kepada masyarakat melalui penerimaan siswa baru.

4.      Memberi bantuan pada sekolah uji coba, berupa pembangunan kelas/ ruang khusus.

5.      Penugasan Guru Pembimbing Khusus.

Setelah sebuah sekolah regular ditetapkan layak sebagai sekolah inklusif, dimana siswanya terdiri dari anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus, maka sekolah tersebut membutuhkan peranan tenaga kependidikan, khususnya guru yang merupakan faktor yang paling menentukan. Tidak saja guru kelas dan guru mata pelajaran yang dikondisikan memahami karakteristik keberagaman peserta didiknya, tetapi dalam upaya mengoptimalkan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, sekolah tersebut membutuhkan pihak-pihak pendukung lain yang diperlukan bagi keberlangsungan program inklusif di sekolah regular tersebut. Pihak-pihak yang terkait dan bertanggung jawab dalam membantu pelaksanaan kebijakan inklusif ini menurut Heryanto Amuda (2003:9) adalah:

1.         Guru Kunjung (Peripetic Services)

Guru kunjung adalah guru yang ditugasi untuk memberikan bantuan dan bekerjasama dengan guru-guru umum. Dimana Guru Kunjung dapat menjadi konsultan bagi guru umum, orang tua, atau masyarakat.

2.         Sekolah Luar Biasa sebagai Developing Outreach Capacity of Special School

Peran SLB menjadi base home bagi guru-guru yang akan bekerjasama dengan rekan-rekannya guru yang berada di SD, SLTP, SLTA ataupun Perguruan Tinggi.

3.         Dinas Pendidikan dari level Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai tingkat Pusat.

Guru kunjung, SLB dan Dinas Pendidikan merupakan komponen penting di dalam suksesnya program inklusif. Mereka membantu sekolah-sekolah regular untuk memfasilitasi keberadaan anak berkebutuhan khusus yang sekolah di sekolah regular. Kerja sama yang baik akan membangun sinergi yang bermakna bagi keberhasilan anak berkebutuhan khusus yang sedang melaksanakan proses belajar mengajar. Hal ini juga menjadi evaluasi bagi masing-masing pemegang peran. Sebab keberhasilan program inklusif, tidak dapat berdiri sendiri. Harus terbangun kesadaran dari semua pihak, bahwa program ini mampu menjadi solusi pendidikan di Jawa Barat.

Sebagai sebuah program yang telah diracang dengan baik, tentunya semua berharap kebijakan dan pelaksanaan program inklusif bisa terus berjalan. Hal-hal yang ingin dikembangkan di masa depan dengan pendidikan Inklusif menurut Budi Hermawan (2003:6) adalah:

1.    Upaya memberikan peluang terhadap anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah reguler.

2.    Menurunkan jumlah anak berkebutuhan khusus yang tersegregasi dan terdiskriminasi dalam sistem pendidikan.

3.    Pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kebutuhan semua anak.

4.    Lokasi pembelajaran yang sama dan dekat dengan lokasi dimana anak tinggal.

5.    Pelayanan pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan dan kebutuhan individu.

6.    Suasana belajar yang ramah, terbuka dan menyenangkan bagi semua anak.

Sumber Bacaan:

Agustina, Puspatriani. (2003). Pengalaman dan Harapan Orang Tua Anak Penyandang Autisma Bersekolah di Sekolah Umum. Bandung: Makalah.

Amuda, Heryanto. (2003). Strategi Dukungan Dalam Pendidikan Inklusif. Bandung: Pokja Implementasi Pendidikan Inklusif Propinsi Jawa Barat.

Capung, Tanto. (2004). Kebijakan dan Program PLB. http://www.pendidikan-diy.go.id/e-learning/mod/forum/discuss.php?d=6 (Online).

Depdiknas. (2004). Kebijakan Kegiatan Prioritas PLB. Jakarta: http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/html/plb/plb-kebijakan-prioritas.htm (Online).

.(2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusif: Manajemen Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

.(2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusif: Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Depdiknas.

Hermawan, Budi. (2003). Konsep Pendidikan Untuk Semua. Bandung: Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.

.(2003). Reorientasi Konsep Pendidikan Inklusif. Bandung: Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.

Karwati, Euis. (2003). Hukum dan Perundang-undangan mengenai: Pendidikan, Hak anak dan Jaminan Sosial. Bandung: Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.

Kustawan, Dedi. (2004). Konsep dan Ideologi Penting Yang Terkait Dengan Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Inklusif. Bandung: Makalah.

Mangkusubroto, Kuntoro dkk. (1987). Analisa Keputusan Cetakan Ke-empat. Bandung : Ganeca Exact.

Presiden RI. (2003). UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Bandung: Citra Umbara.

Salusu J. (2003). Pengambilan Keputusan Stratejik Untuk Organisasi Publik Dan Organisasi Nonprofit Cetakan Ke-enam. Jakarta : PT. Garasindo.

Skjorten D.M dan Johnsen H.B. (2003). Menuju Inklusif. Bandung: Program Pascasarjana.

Subdis PLB. (2006). Kaleidoskop 5 tahun Perjalanan Subdis Pendidikan Luar Biasa Jawa Barat. Bandung: Subdis PLB.

Sunanto, Juang. (2003). Konsep Pendidikan Untuk Semua. Bandung: FIP-Pendidikan Luar Biasa UPI.

Tinggalkan komentar